Koranmetronews.id | Bandung – Rencana pengesahan RUU KUHP yang kini dalam tahap finalisasi oleh pemerintah dan DPR RI dikhawatirkan makin memperburuk sektor pariwisata yang sudah lesu akibat pandemi Covid-19. Sejumlah pasal dalam RKUHP dinilai berpotensi menyasar ruang privasi warga, termasuk wisatawan asing. Pasal-pasal itu bisa berujung pada pasal karet, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini akan memengaruhi kondisi ekonomi, khususnya di Bali.
Demikian terungkap dalam Diskusi Publik “Overkriminalisasi di RKUHP dan Potensi Dampaknya pada Pariwisata” yang digelar secara daring oleh Yayasan Kasih Pelangi Dewata dan Rumah Cemara, Kamis (9/12).
Salah satu aspek penting dalam sektor pariwisata adalah perlindungan atas privasi. Privasi sangat diperhatikan dalam sektor pariwisata, misalnya dalam industri perhotelan. Bali sebagai provinsi yang sangat mengandalkan sektor pariwisata juga sangat menjunjung tinggi nilai privasi, yang perlindungannya tidak hanya pada warga negera Indonesia, namun juga pada warga negara asing yang jadi wisatawan di Bali dan Indonesia umumnya.
Pasal-pasal penyerangan privasi tersebut adalah:
- Pasal 417 RKUHP
“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjaa paling lama 1 (tahun) dan denda kategori II”
- Pasal 419 RKUHP
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal ini mengkriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar perkawinan atau extra marital sex dan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Memang dalam rumusan selanjutnya mengenai extra marital sex disebutkan bahwa yang berhak mengajukan pengaduan adalah orang tua, anak dan pasangan. Namun, untuk kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri, aduan juga dapat dinisiasikan oleh kepala desa dan setingkatnya.
Ide kriminalisasi ini menyasar ruang privat. Pasal ini akan berdampak pada sektor pariwisata terutama sektor perhotelan karena:
- Memengaruhi nilai/ citra Indonesia. Kriminalisasi menandakan bahwa Indonesia cenderung mengarah pada nilai konservatisme, mengintrusi ruang privat tidak hanya warga negaranya namun juga setiap orang yang berada di Indonesia, karena pasal ini akan berlaku juga pada wisatawan
- Memengaruhi reputasi. Maraknya penggerebekan oleh organisasi masyarakat maupun aparat penegak hukum, otomatis menurunkan popularitas dan nama baik hotel dan industri pariwisata. Kriminalisasi akan memberi legitimasi bagi tindakan-tindakan ormas atau kelompok lainnya yang menyatakan bahwa perbuatan ini dilarang
- Mengurangi ketertarikan Warga Negara Asing untuk berkunjung. Australia pada September 2019 lalu mengeluarkan travel adviceuntuk warga negaranya yang berkunjung ke Indonesia, dengan mempertimbangkan adanya RKUHP. Adanya standar moral baku yang membuat turis asing enggan Bali Tourism Board pada September 2019 lalu telah menyatakan kekhawatirannya karena kecenderungan saat itu pun wisawatan beralih ke Thailand yang lebih melindungi privasi wisatawan.
- Persyaratan menginap akan dipersulit. Dengan diberlakukannya ketentuan hukum seperti ini, maka pihak hotel akan dibayang-bayangi upaya mencegah terjadi tindak pidana, sehingga mereka dapat saja menghadirkan persyaratanmenginap yang lebih banyak. Sebagai contoh saat ini terdapat hotel syariah yang menawarkan halal tourism menerapkan serangkaian persyaratan menginap, mulai dari kartu nikah, foto bersama keluarga, bahkan ada pula yang menghakimi ekspresi seseorang hanya dari tampilan luarnya. Walaupun dengan persyarakat yang diperketat, pada intinya pun, pihak hotel juga tidak bisa memastikan ada/ tidaknya perbuatan zina pada tamu-tamu hotel, namun mereka telah dibebankan kewajiban yang tidak perlu.
Tidak hanya berkaitan dengan extra marital sex dan hidup bersama sebagai suami istri, pasal lainnya yang mengintrusi ruang privat adalah Pasal 420 RKUHP yang mengkriminalisasi perbuatan cabul dengan adanya unsur tindak pidana “sama jenis kelaminnya.”
Jika melihat perjalanan pasal ini, intensi perumusannya menyasar kelompok masyarakat dengan orientasi seksual berbeda.
Pasal 420
Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
1) di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.
2) secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
3) yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Sekalipun memuat dengan 3 syarat perbuatan, namun dengan adanya unsur “sama jenis kelaminnya” menimbulkan kekhawatiran bagi kelompok orientasi seksual yang berbeda, yang tak sedikit juga merupakan wisatawan di Indonesia.
Permasalahan pasal-pasal di atas dalam RKUHP yang mengintrusi ruang privat juga terkait dengan pasal lainnya dalam RKUHP, yaitu Pasal 2 tentang kriminalisasi berdasarkan Hukum yang Hidup di dalam Masyarakat/ Living Law, dengan bunyi:
1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Dengan pasal ini seseorang dapat dihukum/dipidana atas dasar “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dalam penjelasan RKUHP tersebut, hukum yang hidup di masyarakat akan didasarkan pada Peraturan Daerah yang akan dikompilasikan. Seringkali aturan di masyarakat dan di tingkat daerah mendiskriminsasi kelompok tertentu misanya perempuan dan kelompok minoritas seksual.
Berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2018 terdapat 421 Peraturan Daerah diskriminatif terhadap perempuan, yang melarang perempuan untuk tidak keluar pada malam hari atau mengatur cara berpakaian perempuan. Berdasarkan data Arus Pelangi (2018), terdapat 6 kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas seksual seperti LGBT.
Masalah-masalah RKUHP di atas berbanding terbalik dengan berhasilnya pembangunan suatu daerah, terutama daerah yang bergantung pada sektor pariwisata. Dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, pariwasata merupakan salah satu sektor yang paling terdampak. Munculnya perdebatan dan ketidakpastian dalam RKUHP tentu saja akan mengakibatkan sektor pariwasata makin menderita.
Diskusi Publik yang dipandu oleh Luh De Suriyani (BaleBengong) ini menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Ni Kadek Vany Primaliraning, S.H. (Direktur LBH Bali), Drs. I Gede Ricky Sukarta, M.B.A. (Ketua Bali Villa Association), I Made Adi Mantara (Direktur Yakeba), dan Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H. (FH Universitas Udayana).
(Red)