Potensi Gagalnya RDF Rorotan dan Pembatalan ITF Sunter: Tanggung Jawab Eks Pj Gubernur Heru Budi dan Kepala DLH Asep Kuswanto, Bukan Pram-Rano

  • Whatsapp

Koranmetronews.id (Jakarta) – Pengamat kebijakan publik, Sugiyanto Emik menengarai potensi RDF Plant Rorotan tidak mampu mengolah sampah Jakarta sesuai target, yaitu hingga 2.500 ton per hari, serta menghasilkan bahan bakar alternatif (RDF) sebanyak 875 ton per hari. Sugiyanto juga menduga adanya penyimpangan.

Sebagai warga, Sugiyanto menjelaskan telah mengikuti pembangunan sistem pengelolaan sampah modern sejak era Gubernur Fauzi Bowo (2007–2012), ketika proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter pertama kali diprogramkan oleh Dinas Kebersihan ketika itu. “Dengan latar pengalaman tersebut, saya memahami secara langsung dinamika persoalan sampah ibu kota serta perjalanan panjang lahirnya kebijakan pengolahan sampah modern, termasuk proyek ITF Sunter di Jakarta Utara,katanya, Senin (20/10/2025).

ITF Sunter kemudian digantikan oleh proyek Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan. Namun hingga kini, fasilitas tersebut tak kunjung rampung dan terus mengalami penundaan peresmian. Penundaan berulang pengoperasian resmi RDF Rorotan menimbulkan kekhawatiran akan kegagalan fasilitas ini dalam mengelola 2.500 ton sampah per hari sebagaimana dijanjikan. Persoalan ini tidak dapat dibebankan kepada Gubernur Pramono Anung maupun Wakil Gubernur Rano Karno, karena proyek tersebut lahir sebelum keduanya memimpin Jakarta dan bukan merupakan gagasan mereka.

Tanggungjawab Pj Heru/Asep

Dalam konteks ini, tanggung jawab sepenuhnya berada pada mantan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kepala DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto. Keduanya adalah figur yang mengambil keputusan strategis dan kontroversial: membatalkan IFT Sunter yang telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), lalu menggantikannya dengan proyek RDF Rorotan tanpa landasan kebijakan nasional yang setara.

Pada saat melaksanakan groundbreaking pembangunan fasilitas RDF Plant di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, (13/5/2024), Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyampaikan bahwa fasilitas tersebut dibangun di atas lahan seluas 7,87 hektare milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Ia juga menegaskan bahwa RDF Plant Rorotan dirancang untuk mampu mengolah hingga 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan bahan bakar alternatif (RDF) sebanyak 875 ton per hari.

RDF Plant Rorotan bahkan dijanjikan sebagai solusi strategis pengganti fungsi TPST Bantargebang dalam mengurai timbunan sampah Jakarta. Dengan kapasitas besar tersebut, fasilitas ini digadang-gadang menjadi tonggak penting transformasi pengelolaan sampah ibu kota berbasis ekonomi sirkular.

Terancam Gagal

Namun, fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan. Tenggat penyelesaian proyek sebenarnya telah mengalami beberapa kali perpanjangan. Melalui addendum, jadwal yang semula ditetapkan pada 31 Desember 2024 diperpanjang hingga 15 Februari 2025. Meski demikian, pengerjaan tetap molor, bahkan dikabarkan telah memasuki addendum kelima dengan batas waktu baru sampai 31 Desember 2025.

Hingga saat ini, RDF Plant Rorotan masih berada pada tahap commissioning atau proses verifikasi dan pengujian. Dengan kata lain, proyek ini belum siap beroperasi, baik dari aspek teknis, operasional, maupun lingkungan. Bahkan hingga akhir September 2025, masyarakat sekitar masih menyampaikan keluhan atas dimulainya kembali proses commissioning atau uji coba RDF Rorotan.

Uji coba tersebut kembali dilanjutkan sejak awal Oktober hingga akhir Oktober 2025. Kini, publik menanti pembuktian: apakah RDF Plant Rorotan benar-benar dapat beroperasi secara resmi dan penuh pada November 2025, sesuai dengan janji Kadis Lingkungan Hidup, Asep Kuswanto?

Pertanyaan kritis berikutnya adalah, apakah fasilitas ini mampu memenuhi klaim teknisnya: mengolah 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan sekitar 769 ton bahan bakar alternatif (briquette RDF)?

Pertanyaannya sederhana namun mendasar: mampukah fasilitas ini menjawab krisis sampah Jakarta, atau justru menjadi proyek gagal total (Gatot) yang membebani anggaran daerah?

Dugaan adanya Penyimpangan

Pada titik inilah muncul kecurigaan publik terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan dan persoalan lain dalam pelaksanaan proyek. Kehadiran pendampingan dari Inspektorat DKI Jakarta, BPKP Perwakilan Provinsi DKI Jakarta, serta Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta selama proses pembangunan tidak serta-merta menjamin bahwa proyek ini bebas dari dugaan penyimpangan, terutama yang mungkin melibatkan oknum internal di Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

Penundaan peresmian oleh Gubernur Pramono Anung akibat ketidaksiapan operasional, disertai munculnya bau menyengat dan keluhan dari warga sekitar, memperlihatkan bahwa pembangunan dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Kondisi ini sekaligus menunjukkan lemahnya kajian terhadap dampak lingkungan (AMDAL) serta minimnya mitigasi sosial terhadap masyarakat terdampak.

Keputusan membatalkan ITF Sunter adalah titik awal kesalahan strategis. ITF Sunter merupakan bagian dari Program Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik.

Sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), ITF Sunter memiliki dasar hukum yang kuat dan memperoleh dukungan penuh dari pemerintah pusat, termasuk subsidi tipping fee serta jaminan pembelian listrik oleh PLN. Dengan landasan tersebut, alasan pembiayaan tidak dapat dijadikan dalih untuk membatalkan proyek ini secara sepihak. Terlebih pada era Gubernur Anies Baswedan, ITF Sunter telah resmi diberikan penugasan kepada BUMN PT Jakarta Propertindo (Jakpro), yang menunjukkan keseriusan negara dalam mengimplementasikan teknologi Waste to Energy (PLTSa) sebagai solusi modern pengelolaan sampah di Jakarta.

RDF Rorotan tidak termasuk dalam PSN, dan tidak tercantum dalam Perpres 35/2018. Secara teknologi, RDF hanya mengubah sampah menjadi bahan bakar padat, bukan menghasilkan energi listrik secara langsung. Artinya, RDF tidak memiliki payung hukum setingkat ITF dan tidak sejalan dengan kebijakan nasional energi terbarukan. Dengan mengganti ITF menjadi RDF, Pj Gubernur Heru Budi secara sadar menurunkan standar teknologi dan mengabaikan arah kebijakan pusat.

Sebagaimana diketahui, pembangunan RDF Plant di Rorotan dilaksanakan melalui kerja sama KSO WJK berdasarkan Kontrak Nomor 2101/PPK-MAF/PN 01.02 tertanggal 26 Maret 2024, dengan nilai proyek mencapai Rp1.284.554.975.461,00. Proyek ini menggunakan skema design and build, sebagaimana diatur dalam Keputusan Gubernur Nomor 834 Tahun 2023 tentang penetapan pekerjaan perancangan dan pembangunan (design and build) fasilitas pengolahan sampah RDF di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Tahun Anggaran 2024, yang ditandatangani pada 29 November 2023.

Namun demikian, proyek RDF Rorotan memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar. Apakah telah dilakukan studi kelayakan yang komprehensif sebelum proyek ini dijalankan? Apakah proses tender benar-benar dilaksanakan secara transparan dan bebas dari potensi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)?

Fakta di lapangan justru menunjukkan adanya duggan polemik terkait keterbukaan informasi publik, ditambah meningkatnya keluhan masyarakat sekitar yang terdampak oleh bau menyengat dan dugaan pencemaran udara. Protes warga di sekitar kawasan RDF Rorotan menjadi bukti bahwa persoalan sosial, lingkungan, dan kesehatan publik belum sepenuhnya diantisipasi oleh pemerintah maupun pelaksana proyek.

Ketika RDF Rorotan terancam gagal beroperasi tepat waktu, bukan tidak mungkin akan muncul narasi yang mencoba menggiring opini publik bahwa keterlambatan peresmian adalah kesalahan Gubernur Pramono Anung. Jika narasi tersebut muncul, hal itu jelas merupakan bentuk penyesatan informasi. Memang benar, peresmian RDF Rorotan tercantum dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor e-0001 Tahun 2025 tentang Program 100 Hari, dengan target pelaksanaan pada minggu ke-9 (21–27 April). Namun, tanggung jawab teknis, perencanaan, dan penggunaan anggaran atas proyek ini sepenuhnya berada pada pemerintahan sebelumnya.

Jika Gubernur Pramono kini menunda peresmian demi pengujian ulang instalasi dan perbaikan, langkah tersebut justru mencerminkan kehati-hatian dan tanggung jawab terhadap keselamatan publik. Tidak pantas kesalahan konstruksi, kegagalan fungsi, ataupun cacat perencanaan dibebankan kepada pemimpin baru yang hanya mewarisi persoalan.

Tanggung jawab mendasar tetap berada pada dua figur utama: Heru Budi Hartono dan Asep Kuswanto. Heru sebagai otoritas tertinggi saat keputusan strategis diambil, dan Asep sebagai pejabat teknis yang mendorong RDF tanpa payung hukum nasional.

Jika pada akhirnya RDF Rorotan gagal mengelola 2.500 ton sampah per hari sebagaimana dijanjikan, maka publik berhak menuntut evaluasi menyeluruh serta penegakan akuntabilitas, baik secara administratif maupun hukum. DPRD DKI Jakarta dan lembaga pengawasan negara perlu memberikan perhatian serius terhadap penggunaan anggaran dan kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam proyek ini.

Melalui rangkaian tulisan selanjutnya, akan diurai secara mendalam kronologi pembatalan ITF Sunter, proses politis lahirnya RDF Rorotan, dugaan pelanggaran hukum atas PSN, hingga potensi kerugian negara akibat salah arah kebijakan pengelolaan sampah. Ini bukan sekadar perdebatan teknis, melainkan soal keberanian mengoreksi kesalahan dan keberpihakan nyata pada kepentingan publik.(john)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *