Koranmetronews.id (Jakarta)- Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Adies Kadir hingga kini belum terdengar menyatakan mundur dari DPR. Status “nonaktif” yang diterapkan partai justru menimbulkan kekeliruan fatal karena istilah tersebut tidak memiliki dasar hukum formal dalam tata aturan perundang-undangan.
Sugiyanto Emik, pengamat kebijakan publik, mendesak agar anggota DPR RI non aktif bisa bersikap jujur dan legowo. Anggota DPR RI Saraswati dari Fraksi Gerindra patut menjadi teladan. ” Alih-alih meredam krisis, kebijakan itu justru semakin memperdalam jurang ketidakpercayaan publik terhadap DPR. Karena itu, partai politik atau parpol dan lembaga DPR RI harus menunjukkan komitmen tinggi untuk segera menuntaskan persoalan ini,”kata Sugiyanto, Jumat (26/9/2025).
Seperti diberitakan, gelombang demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025 yang menelan korban jiwa melahirkan tuntutan rakyat yang dikenal dengan “17+8”. Di antara tuntutan itu adalah desakan agar parpol dan DPR memecat atau menjatuhkan sanksi tegas kepada anggota dewan yang tidak etis serta memicu kemarahan publik.
Selain itu, publik mendesak agar Badan Kehormatan DPR segera memeriksa anggota yang bermasalah. Artinya, dalam kondisi tertentu publik bahkan meminta DPR membuka ruang bagi KPK untuk melakukan pemeriksaan.
Dalam suasana yang tidak menentu, publik dikejutkan oleh keputusan mundur Rahayu Saraswati, anggota DPR dari Fraksi Gerindra sekaligus keponakan Presiden Prabowo Subianto. Apapun alasannya, langkah itu menunjukkan sikap legowo yang patut diteladani dan mendapat apresiasi tinggi.
Keputusan Saraswati, yang juga diizinkan oleh Partai Gerindra, layak menjadi teladan bagi legislator maupun partai lain. Tidak berlebihan jika publik menilai sikap ini sebagai langkah elegan yang mampu menjaga marwah partai dan DPR sekaligus.
Berbeda dengan langkah Saraswati, lima anggota DPR lainnya hanya dinyatakan nonaktif oleh partai masing-masing sejak 1 September 2025. Adies Kadir dinonaktifkan oleh Golkar, Eko Patrio dan Uya Kuya oleh PAN, sedangkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach oleh NasDem.
Penonaktifan itu muncul setelah pernyataan dan tindakan mereka memicu kecaman publik, mulai dari ucapan Sahroni yang menyebut gagasan pembubaran DPR sebagai “tolol”, pembelaan Nafa Urbach terhadap tunjangan rumah DPR, aksi Eko dan Uya berjoget di tengah krisis sosial, hingga sikap Adies Kadir yang membela kenaikan tunjangan.
Secara hukum, istilah nonaktif tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). UU ini hanya mengatur dua mekanisme, yakni Pergantian Antar Waktu (PAW) dan pemberhentian sementara.
PAW diatur dalam Pasal 239, sedangkan pemberhentian sementara diatur dalam Pasal 244. Artinya, penonaktifan internal partai tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengubah status keanggotaan. Fakta hukum menunjukkan bahwa selama PAW belum diproses, kelima anggota tersebut tetap sah sebagai anggota DPR.
Dalam situasi seperti ini, langkah paling logis sekaligus bermartabat adalah kelima anggota DPR tersebut mengundurkan diri secara sukarela. Publik sudah terlanjur kecewa dan marah terhadap sikap mereka, bahkan menilai keberadaan mereka hanya memperburuk citra DPR.
Dengan mengundurkan diri, citra partai politik dan DPR dapat terjaga di mata masyarakat. Setelah itu, partai dapat segera memproses PAW dan memberi ruang bagi calon legislatif berikutnya untuk menggantikan.
Sikap tersebut sekaligus menunjukkan integritas politik, menjaga kehormatan DPR, serta memberikan kepastian hukum yang jelas. Sebaliknya, penggunaan istilah nonaktif tanpa dasar hukum hanya memperpanjang ketidakpastian, menurunkan akuntabilitas, dan menambah kebingungan publik mengenai status konstitusional mereka.
Sebagaimana diketahui, Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat lahir sebagai akumulasi keresahan publik terhadap kebijakan negara. Gerakan ini dipicu oleh tingginya gaji dan tunjangan DPR, sementara rakyat menghadapi biaya hidup yang semakin berat, gelombang PHK massal, hingga tindakan represif aparat dalam menghadapi demonstrasi.
Adapun Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat mencakup 17 poin jangka pendek yang harus dipenuhi paling lambat 5 September 2025, serta 8 poin jangka panjang dengan tenggat hingga 31 Agustus 2026. Jelas bahwa partai politik dan DPR tidak dapat mengabaikan aspirasi ini.
Alasan logisnya, legitimasi politik yang mereka miliki bersumber dari suara rakyat, bukan cek kosong. Mandat itu merupakan kontrak sosial yang harus dijalankan dengan keberpihakan pada kepentingan publik.
Jika rakyat menuntut penghentian tunjangan rumah DPR, pembatalan kenaikan gaji, transparansi anggaran, serta perlindungan terhadap demonstran, maka parpol dan DPR wajib menindaklanjutinya. Semua itu merupakan amanat konstitusional bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat,” sekaligus bukti komitmen terhadap etika politik.
Sejumlah langkah awal memang sudah diambil, seperti penghentian tunjangan rumah, moratorium perjalanan luar negeri, dan keterbukaan take home pay anggota DPR. Presiden Prabowo bersama pimpinan partai juga menyatakan setuju untuk menghapus tunjangan DPR dan menghentikan fasilitas berlebihan.
Namun demikian, publik tetap menuntut agar langkah ini dijalankan secara konsisten oleh pemerintah dan DPR. Akan menjadi kesalahan fatal jika respons cepat dari parpol, DPR, atau pemerintah hanya sebatas kebijakan sementara untuk meredam gejolak.
Reaksi partai dengan menonaktifkan anggota yang kontroversial memang terlihat cepat, tetapi publik menilai itu hanya langkah kosmetik. Solusi sesungguhnya adalah pemecatan dan pemrosesan PAW agar akuntabilitas terjamin. Mahkamah Kehormatan Dewan perlu melakukan pemeriksaan mendalam, bahkan bila perlu KPK turun tangan jika ada indikasi pelanggaran hukum.
Lebih jauh, parpol harus membuktikan keberpihakan nyata kepada rakyat. Beberapa partai sudah menyatakan dukungan terhadap penghentian tunjangan DPR, membuka ruang dialog publik, dan menjanjikan reformasi kelembagaan.
Namun, janji itu hanya bermakna jika diwujudkan dalam kebijakan konkret. Reformasi DPR harus dijalankan secara menyeluruh, mulai dari audit independen yang diumumkan kepada publik, peningkatan syarat moral dan pendidikan bagi calon legislatif, penolakan terhadap mantan koruptor, hingga penghapusan fasilitas berlebihan yang membebani APBN.
Partai politik juga wajib membuka ruang dialog bermakna antara DPR, pemerintah, mahasiswa, serikat buruh, dan masyarakat sipil. Presiden Prabowo sudah memerintahkan agar forum dialog dibuka, dan sejumlah partai menyatakan siap terlibat. Namun, dialog hanya akan bermakna jika dijalankan dengan kesungguhan, bukan sekadar formalitas untuk meredakan ketegangan sosial.
Jika parpol dan DPR gagal memenuhi 17+8 Tuntutan Rakyat, legitimasi politik mereka akan semakin rapuh. Demokrasi kehilangan substansi ketika wakil rakyat lebih sibuk mempertahankan privilese daripada menjalankan fungsi representasi. Sebaliknya, bila parpol berani memecat kader yang tidak etis, memperjuangkan transparansi, melakukan reformasi kelembagaan, dan membuka ruang partisipasi rakyat, maka legitimasi demokrasi akan semakin kuat.
Gerakan 17+8 bukanlah sekadar tekanan populis, melainkan amanat rakyat untuk menyelamatkan demokrasi. Parpol dan DPR harus menjawab dengan keberanian politik, konsistensi moral, dan langkah nyata. Hanya dengan cara itu kontrak sosial antara rakyat dan wakilnya bisa dipulihkan, dan kedaulatan rakyat benar-benar ditegakkan sebagai dasar setiap kebijakan negara.(john)