koranmetronews.id, Jakarta – Provinsi DKI Jakarta mempersiapkan diri menerapkan kebijakan new normal atau normal baru dan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini dilakukan berdasarkan tiga indikator yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tanggal 21 Mei 2020 lalu. Ketiganya adalah indikator penularan berdasarkan angka reproduksi efektif, indikator sistem kesehatan, serta kapasitas pengujian tes COVID-19 terhadap masyarakat.
Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono mengingatkan Pemda DKI untuk benar-benar memastikan kesiapan daerahnya berdasarkan ketiga indikator yang bersumber dari Badan Kesehatan Dunia WHO ini.
“Kita lihat satu-satu ya? Indikator pertama, angka reproduksi efektif (Rt) kurang dari 1 (Rt < 1). Angka median dari reproduksi efektif (Rt) di Provinsi DKI Jakarta saat ini 0,98783, berdasarkan data Bappenas 18 Mei 2020. Jadi terpenuhi,” ujar Mujiyono, di Jakarta, Selasa (26/5).
Selain DKI Jakarta, ungkapnya, Bappenas menyebutkan Jawa Barat memiliki angka RT=0,9820. Provinsi lain dengan angka reproduksi efektif yang mendekati 1 adalah Jawa Tengah dengan angka Rt = 1.0126. Data Bappenas bisa diakses pada http://covid.bappenas.go.id/
Meski demikian, Mujiyono meminta Pemda DKI benar-benar transparan dan akuntabel dalam mengukur di lapangan, termasuk menjelaskan bagaimana memperoleh data, bagaimana melakukan pengukuran, dan sebagainya sehingga datanya dapat diterima dan dipertangung jawabkan secara ilmiah.
Apalagi, ungkapnya, tim dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) di laman berita The Conversation menjelaskan bahwa Indonesia masih belum memiliki kurva harian epidemiologis pandemi COVID-19.
Indikator kedua, kata anggota DPRD DKI Jakarta tiga periode ini, adalah indikator sistem kesehatan. Menurut Mujiyono, Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki rasio tempat tidur per penduduk yang lebih tinggi dari provinsi lain, yakni sebesar 2,33 tempat tidur per 1.000 penduduk. Sebagai perbandingan, rasio tempat tidur per 1000 penduduk untuk Provinsi Jawa Barat sebesar 0,85; dan Jawa Tengah 1.15.
“Namun, DKI Jakarta perlu memperbesar lagi kapasitas sistem kesehatan ini, terutama terkait dengan Ruang ICU, Perlengkapan dan Peralatan Medis (Ventilator, APD, dan sebagainya), serta Tenaga Medis. Saya sarankan agar Pemda melakukan refocusing anggaran untuk meningkatkan kapasitas sistem kesehatan ini,” tegasnya dengan target menambah tempat tidur rumah sakit untuk mencapai rasio di atas 3,5 per 1.000 penduduk.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tutur Mujiyono, Pemda DKI perlu mempertimbangkan mendirikan rumah sakit dan fasilitas kesehatan darurat secara masif dengan memanfaatkan aset-aset gedung/ lahan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Indikator ketiga, lanjut politisi Partai Demokrat itu, kapasitas pengujian Covid-19. Sejak Maret sampai 24 Mei 20202, Pemda DKI Jakarta telah memeriksa secara akumulatif 130.912 sampel dengan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) Covid-19. Artinya, kata Mujiyono, rasio tes per 1 juta penduduk di Provinsi DKI Jakarta adalah sebanyak 12.069. Ini akan makin bertambah besar, karena Pemprov DKI telah membangun laboratorium satelit COVID-19 di RSUD Pasar Minggu yang sudah beroperasi sejak 9 April 2020, untuk meningkatkan kapasitas pemeriksaan metode RT-PCR.
“Memang saat ini, Provinsi DKI Jakarta dapat dikatakan lebih banyak melakukan tes dibandingkan dengan Provinsi lain, namun apabila dibandingkan dengan negara lain kita masih tertinggal seperti Singapore tes per 1 juta penduduk adalah sebanyak 50,364, Korea Selatan 16,375; dan Malaysia sebanyak 15.822. Sehingga, diperlukan peningkatan tes PCR secara masif untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya,” jelas Ketua Komisi A DPRD DKI ini.
Mujiyono juga meminta pemerintah untuk meningkatkan proses melacak kontak (contact tracing) pasien yang positif COVID-19. Ia menegaskan Pemda DKI harus merilis informasi mengenai riwayat kontak yang dilakukan oleh pasien positif COVID-19 sehingga warga dapat memeriksakan diri apabila melakukan kontak dengan pasien tersebut.
Ketua Badan Pembinaan Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi (BPOKK) DPD Partai Demokrat Jakarta ini tak bosan-bosannya mengingatkan penerapan normal baru harus selaras dengan penerapan protokol kesehatan. Dia menilai, pelaksanaan PSBB selama ini masih lemah. Ke depannya, pengawasan PSBB harus lebih efektif dan disertai dengan sanksi yang ketat sehingga semua protokol kesehatan dapat dipatuhi oleh publik dan dunia usaha.
“Masa kritis dari penyebaran COVID-19 adalah di saat terjadinya arus mudik. Maka, pengawasan arus balik wajib diberlakukan secara ketat mengingat lebih 1,5 juta penduduk telah pulang kampung/mudik dan hanya 12 titik masuk yang diawasi, sedangkan titik masuk ke Jakarta banyak. Warga yang menggunakan melalui jalur-jalur alternatif, harus melakukan isolasi secara mandiri paling sedikit 14 hari (masa inkubasi) sebelum dapat beraktivitas normal,” jelasnya.
Untuk ini, Mujiyono menyarankan untuk melibatkan kembali RW dan RT dalam mendata dan mengawasi warga yang kembali dari kampung halaman. Selain itu, Penerapan Pergub Nomor 47 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian Keluar dan/atau Masuk Provinsi DKI Jakarta dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19 harus dilaksanakan secara ketat dan tegas.
Sebagai politisi yang sudah lebih dari 15 tahun menyalurkan aspirasi masyarakat Jakarta, Mujiyono pada prinsipnya tidak keberatan untuk melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar agar perekonomian bisa bergerak kembali. Namun, jangan sampai alasan ekonomi mengalahkan pertimbangan kesehatan, mengingat akar dari krisis ekonomi ini adalah krisis kesehatan.
(John)