koranmetronews.id, JAKARTA – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berpendapat sikap Kepolisian RI yang menunda proses hukum calon kepala daerah (cakada) selama tahapan Pilkada Serentak 2020 memberikan lebih banyak dampak positif dibanding dampak negatif, di antaranya untuk menghindari persepsi bahwa polisi menjadi alat politik.
“Lebih banyak positifnya karena persoalan yang ditangani Polri sangat banyak. Spektrum kasus yang ditangani Polri mulai dari pidum (pidana umum) sampai pidsus (pidana khusus),” kata Tito dalam konferensi pers daring usai rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, 08/09/20.
Tito yang juga Mantan Kapolri menjelaskan bahwa Korps Bhayangkara menangani berbagai macam persoalan hukum pidana, seperti penipuan, penggelapan, pencemaran nama baik, atau pelanggaran Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Jika Polri tidak menunda proses hukum calon kepala daerah, dikhawatirkan antarkontestan pilkada akan saling melaporkan pesaingnya kepada kepolisian dengan motif untuk menjatuhkan elektabilitas.
“Kalau tidak dilakukan moratorium, semua bisa saling melaporkan lawan politiknya dan polisi jadi instrumen,” kata Tito.
Menurut Tito, ketika calon kepala daerah diproses hukum oleh kepolisian, hal itu rentan dijadikan alat serangan politik oleh pesaingnya.
“Beda domain politk dan hukum. Isu dipanggil polisi bisa jatuhkan elektabilitas. Sikap Polri dengan moratorium karena tidak ingin Polri jadi instrumen menyerang kontenstan yang lain,” ujarnya.
Terdapat perbedaan sikap antara Polri dan KPK dalam proses hukum calon kepala daerah selama Pilkada Serentak 2020 ini. Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri pada hari Senin (7/9) mengatakan bahwa KPK tidak akan menunda proses hukum, termasuk terhadap perkara yang diduga melibatkan calon kepala daerah.
Menurut Mendagri, sikap KPK karena lembaga antirasuah itu hanya spesifik menangangi kasus pidana korupsi, sedangkan Polri harus menangani lebih banyak kasus.
“Di Polri yang ditangani bukan hanya tipikor, bisa saja pencemaran nama baik, dugaan ijazah palsu, penipuan, penggelapan, dan pelanggaran UU ITE. Kalau KPK bersikap lain karena spesifiknya memang ke (penindakan) korupsi,” kata Tito.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol. Idham Aziz menerbitkan surat telegram rahasia ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 per tanggal 31 Agustus 2020 untuk mengatur soal netralitas dan profesionalisme pelaksanaan pelayanan masyarakat, khususnya di bidang penegakan hukum untuk menghindari konflik kepentingan dan pemanfaatan kepentingan politik oleh kelompok tertentu.
Seluruh jajaran Polri diminta tidak melakukan pemanggilan ataupun upaya hukum lain yang mengarah ke persepsi publik bahwa Polri mendukung salah satu peserta pilkada. Penundaan dilakukan demi menjaga profesional dan netralitas seluruh anggota Polri selama pelaksanaan Pilkada 2020.
Adapun proses hukum yang diduga melibatkan peserta pilkada akan dilanjutkan kembali setelah tahapan pilkada berakhir.
Apabila ada anggota atau penyidik yang melanggar hal tersebut, kata Idham, sanksi dengan diproses secara disiplin ataupun kode etik akan diberikan.
Akan tetapi, aturan penundaan tersebut tidak akan berlaku kepada peserta pilkada yang diduga melakukan tindak pidana pemilihan, tertangkap tangan, mengancam keamanan negara, dan mereka yang terancam hukuman seumur hidup serta mati.(KMN/03)